Saya menghormati terjemahan The Message of The Quran yang disusun Muhammad Asad, tapi tidak buku ini. Mungkin karena dua karya tersebut ditulis pada masa yang berbeda. Islam di Simpang Jalan ini ditulis saat sang pengarang baru saja menjadi mualaf dan mengganti nama aslinya Leopold Weiss. Sangat terlihat tendensi beliau dalam menilai konflik antara Islam dan Barat, barangkali persis seperti yang diramalkan Samuel P. Huntington sekitar 60 tahun sesudah buku ini ditulis.
Sayangnya, buku ini tidak banyak menambah wawasan baru untuk memandang konflik Barat-Islam. Asad memaparkan sebab-sebab tidak sesuainya peradaban Islam dan peradaban Eropa dari sudut pandangnya sebagai orang yang bersimpati terhadap Islam. Toh konflik itu sudah dan masih terjadi sekarang dan yang kita butuhkan adalah solusi menjembatani ketimpangan peradaban ini, bukan saling mengalahkan atau menaklukkan.
Saya tidak tahu, tapi dalam terjemahan ini seolah-olah ada sesuatu yang hilang. Cerpen Teka Teki misalnya, tidak saya temukan maknanya. Apa itu sebuah alegori, atau ada hal lain yang ingin diungkapkan, sulit ditebak. Secara keseluruhan, saya tidak begitu gembira dengan apa-apa yang saya temukan di sini. Entah ini terjadi karena terjemahannya yang kurang sempurna, atau karena cerpen yang diterjemahkan memang seperti itu adanya.
Tapi sisi positifnya, usaha penerjemah untuk menerjemahkan cerpen-cerpen dari penulis dunia ini patut diapresiasi. Tidak banyak karya sastra asing yang diterjemahkan dan apalagi diterbitkan akhir-akhir ini.
Tidak semua cerpen di sini tidak saya suka. Ada Republick, karangan Naguib Mahfouz yang secara gamblang mengekspos keabsurdan konsep pemerintahan. Ada Menjelang Fajar, karangan Sartre yang menjadi satu di antara sekian banyak pernyataan tertulisnya tentang eksistensialisme.
Mungkin kali lain, penerjemah perlu lebih selektif dalam memilih karya-karyanya yang akan diterbitkan. Syukur-syukur kalau buku-buku selanjutnya bisa dibuat tematis.
Mungkin politisi-politisi perlu bikin buku seperti ini, paling tidak untuk sedikit membersihkan citra politisi yang selama ini pemberitaannya selalu aneh-aneh. Keder sendiri baca bagian cerita ketika si pencerita terpanggil melawan kemiskinan karena lihat orang bunuh diri. Lebih keder lagi sama buku-buku yang sudah dibaca: Marx, Sartre, Camus, Nietzsche, Sagan. Wih, ternyata politisi Indonesia ada yang baca gituan ya....
Buku aslinya mungkin bisa jadi semonumental Catatan Seorang Demonstran, kalau ceritanya seperti di komik ini (belum bisa beli atau nemu pinjeman sih). Sayang alurnya nggak kronologis, loncat-loncat. Agak bingung jadinya menghubungkan satu peristiwa dan peristiwa lain.
Bung kecil yang jadi perdana menteri di umur 36 tahun, menjabat cuma 2 tahun, untuk selanjutnya dipinggirkan dan akhirnya meninggal di pengasingan.
Sebetulnya saya kurang suka dengan buku sejarah/biografi yang penuturannya tidak kronologis dan antar babnya kurang runtut. Serial buku ini lebih mirip kumpulan artikel tentang tokoh nasional daripada buku biografi utuh (sepertinya memang begitu karena memang sumber buku ini dari tulisan-tulisan Tempo). Namun, kekurangan ini ditutupi dengan banyaknya cerita-cerita pribadi yang dimasukkan, sehingga pahlawan-pahlawan nasional ini akhirnya lebih terlihat sebagai manusia daripada dewa. Ada juga cerita-cerita yang lain seperti sejarah Proklamasi di Cirebon yang ternyata mendahului Bung Karno dua hari. Selain itu, tulisan-tulisan kolom di akhir buku juga membuat terang kontribusi apa yang telah ditorehkan Sjahrir untuk Indonesia, yang tak pernah diceritakan di pelajaran sejarah.
Saya tidak begitu menikmati karya puisi yang banyak bertumpu pada simbol-simbol. Sayangnya, puisi Kahlil Gibran adalah ragam yang begitu banyak dibumbui dengan perumpamaan. Selain puisinya soal cinta, perkawinan, dan anak, banyak perkataan sang nabi yang saya lewati begitu saja. Bagi saya, seorang nabi boleh saja dan bahkan perlu bertutur dengan perumpamaan. Namun, ia mesti bercerita dengan terang-benerang, memahamkan mana yang betul dan mana yang batil. Sayang Almustafa bukan nabi yang semacam itu, sehingga banyak dari perkataannya yang tidak mampu saya serap karena terlalu samar-samar dan penuh dengan misal yang bisa saya tangkap apa maksudnya. Terpaksalah tidak saya ingat-ingat banyak dari apa yang ia katakan.'
Saya tidak tahu apakah puisi Kahlil Gibran yang lain gaya bahasanya semacam ini atau tidak. Namun, dibandingkan dengan versi terjemahan KPG, versi yang diterjemahkan Pak Sapardi ini lebih bisa dipahami dan dibaca. Barangkali ini karena kosakata yang dipakai lebih umum, dan baris demi barisnya dibuat sesingkat mungkin.
Versi ini susah betul dibaca. Pertama: karena ceritanya betul-betul diperas sampai-sampai nuansanya jadi hilang semua. Kedua: terjemahannya kurang enak diikuti, kurang mengalir.
Sebaiknya baca bahasa Inggrisnya saja atau yang terbitan KPG. Semoga nanti bisa kalau ada waktu (dan duit).
Dibandingkan buku Politik Kekuasaan, buku ini memang lebih berat ke soal politik secara tatanegara ketimbang politik praktis. Saya menemukan beberapa gagasan yang menarik soal bagaimana menyeimbangkan kekuasaan golongan elit dan golongan rakyat (murba?). Sayangnya, karena ini hanya saduran, penyajiannya jadi terkesan buru-buru. Terkadang satu bab hanya diberi 1-2 halaman. Selain itu, ada informasi yang berulang dan banyak penjelasan yang diberikan tanpa latar belakang sebelumnya. Tapi, sebetulnya masih cukup puas, sih. Mungkin nanti perlu baca lagi.
Ada enam sifat manusia Indonesia menurut Mochtar Lubis: hipokrit alias munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya takhayul, memiliki bakat seni, dan memiliki watak yang lemah. Dengan keras ia melalui pidato kebudayaannya mengkritik tatanan masyarakat di akhir tahun 70-an. Di situ juga banyak wanti-wanti bahwa jika tahun 2000 situasi itu tidak berubah, maka masyarakat kita bakal makin terpuruk. Sayangnya, tahun 2015 ini pidato itu tetap menyengat dan masih mencerminkan mentalitas kita.
Cerpen Matinya Seorang Penari yang menjadi judul antologi ini memang menarik. Dua versi, versi film dan asli, melengkapi satu sama lain. Versi film, karena memang mengadaptasi bentuk yang menekankan aksi, lebih banyak bercerita tentang diburunya Si Penari Telanjang oleh dua orang pembunuh bayaran yang eksentrik. Versi asli cerpennya lebih banyak menjelaskan motif-motif yang melatarbelakangi peristiwa pembunuhan itu. Pada akhirnya siapa biang keladi tidak juga terjawab, tapi Seno Gumira Ajidarma (SGA) meninggalkan pesan yang apik, bahwa perempuan agaknya selalu menjadi korban dan laki-laki tak pernah mau disalahkan.
Secara keseluruhan antologi ini berasal dari cerpen SGA yang dimuat di Kompas dan media massa lainnya. Cerpen SGA lazimnya mencemooh segala perikehidupan modern, dan ciri itu terlihat di buku ini. Semua cerita yang dimuat di sini tidak lepas dari kritik akan masyarakat. Ini bisa dilihat terutama di Manusia Kamar dan Ngesti Kurawa dengan tokoh utamanya yang nyata-nyata mencerca masyarakat dan, di cerita yang disebut belakangan, pergesaran pola hidup yang membuat semua orang makin sering. Kadangkala cerita SGA tak mudah ditangkap maksudnya, semisal Matinya Seorang Pemain Sepakbola atau Matinya Seorang Wartawan Ibukota, tapi di dalamnya SGA menyinggung soal ekspektasi besar pada orang yang sejatinya biasa-biasa saja. Di Tante W, Katakan, Aku Mendengarnya, dan Selamat Pagi Bagi Seorang Penganggur sinisisme SGA pada realitas perkotaan semakin kentara dengan nyata-nyata mengejek kekeluargaan yang kian pudar, rasa penasaran yang tidak diikuti dengan empati, dan ritme hidup Jakarta yang menyiksa penduduknya.
Apa yang ada di benak seorang demonstran? Itu pertanyaan yang saya ajukan sebelum membaca buku ini. Selama ini, dalam hemat saya, demonstrasi hanya tindakan sia-sia yang merusak dan tak jarang berbuntut perkara. Apa pikiran yang melandasi tindakan konfrontatif para mahasiswa? Cara terbaik untuk mengenal pemikiran seseorang adalah dengan membaca tulisannya. Oleh karena itu saya mencoba menemukan jawabannya di sini.
Agak kecewa sebenarnya saat saya menemukan bahwa buku ini bukanlah sepenuhnya “catatan seorang demonstran”. Buku ini lebih merupakan sebuah memoar perjalanan hidup Soe Hok Gie, dengan segala kerumitan pikirannya. Bagian yang benar-benar saya suka hanya bab Catatan Seorang Demonstran di mana Soe Hok Gie menuturkan jalannya demonstrasi-demonstrasi tahun 1966 dari sudut pandang mahasiswa.
Tapi sosok Soe Hok Gie sendiri bukannya sosok yang tidak menarik. Sedari kecil dia sudah menolak mentah-mentah pakem keagamaan dan mengikuti sastra dan pemikiran barat. Dia juga mengolok-olok guru bahasa Indonesianya yang dianggapnya tidak mengerti sastra. Di masa mahasiswa, dia adalah seorang idealis tangguh yang benci dengan agenda komunisme. Menjelang akhir hidupnya yang singkat, bisa dikatakan bahwa Soe Hok Gie seorang humanis tulen (bedakan humanis dengan humanitarian) yang menentang segala bentuk militansi.
Walau titik penting buku ini adalah gagasan politiknya, tapi buku ini lebih banyak memuat sisik-melik kehidupan Soe Hok Gie. Soal hidup, cinta, dan aktivitas pecinta alam yang digeluti juga ditulisnya. Semua ini dituliskan dengan pemikiran dan renungan yang dalam sehingga tidak terkesan remeh.
Banyak mahasiswa yang mengaku pernah membaca Catatan Seorang Demonstran tapi banhkan tindakannya amat jauh dari apa yang dicita-citakan Soe Hok Gie. Entah mereka menghayati apa yang dipikirkan Soe Hok Gie dengan sungguh-sungguh atau hanya sekadar mencari pembenaran untuk berdemo saja.
Terkadang saya lupa bahwa Bung Hatta masih hidup di zaman Soeharto. Terkadang negara ini lupa bahwa mereka punya bapak bangsa yang juga akademisi.
Sebagaimana buku-buku lain dalam seri ini, jilid tentang Bung Hatta berhasil menggambarkan sosok tokoh dwitunggal (dan dwitanggal) yang berwarna, yang tidak melulu satu sisi sebagaimana yang kita tahu dalam pelajaran sejarah. Meski penyampaiannya tidak melulu runtut, dari buku ini kita bisa mengerti garis kehidupan Bung Hatta yang berwarna-warni dan tidak melulu dipenuhi perjuangan. Justru hidup beliau lebih ramai oleh buku-buku, baik yang dia baca maupun yang dia tulis.
Tidak seberkesan Rafilus atau Olenka, tapi tetap menggambarkan suasana batin yang sama: bahwa manusia jauh di lubuk hatinya cenderung suka mementingkan diri sendiri dan tidak berharap yang baik-baik kepada orang lain, tapi sekaligus juga butuh kasih dan sayang dari sesama manusia agar bisa bertahan hidup.
Listened to this book because it's narrated by THE Littlefinger. I will still need to read the book visually to retain the information, though. This kind of book is something you'll ultimately have to read at your own pace rather than being read to.
This is a short read that got me thinking, “If I were to die 3 months from now, would I do anything differently?” The main character wondered about this, too, when he, as the title suggests, sold his life for ten thousand yen per year. It's a pretty bittersweet story, and has certainly made me feel some feelings. However, I'm not really impressed by the introduction of a “best girl” to accompany this main character. It kinda cheapens the whole point about the story and its ending.
Overall, the impression I got upon finishing the book was like the one I experienced after finishing Mitch Albom's “The Five People You Meet in Heaven.” This manga made me feel and think, but not deep enough. Still an enjoyable read, though.
I originally wanted to read Hitchhiker three years ago to cope with the sense of dread and insignificance after finishing the third book of the cosmic sci-fi series Remembrance of Earth's Past. Contrary to that series' heavy-handed, ultra-hard science fiction approach to deliver the tale of our universe, here our world is presented as a deadly place but also a silly and bewildering place to live in. Liu Cixin in his trilogy presented the view that our lives in the universe are absurd in the sense that there's no point in anything and that all our efforts to create something in it tend to be negated by the sheer force and size of the galaxy itself. Similarly, Douglas Adams wanted to convey such sense of absurdity, too. However, he did it by presenting the fuzzy, confusing, and plain unknowable truths of the universe as a series of witticisms and jokes.
I'm enjoying this change in perspective. It is far easier to swallow the fact that I as a human being am very much meaningless and mostly harmless in the grand scheme of things through comedy and silly characters than through theoretical speculations and tragic stories. Which kind of explanation is more correct doesn't matter. Afterall, as the old man Slartibartfast said, “I'd far rather be happy than right any day.”
Ini ulasan untuk keseluruhan manga Kare Kano.
Souichiro dan Yukino adalah anak kelas 1 SMA dengan ego yang tinggi, gengsi yang tinggi, dan didukung dengan prestasi yang cemerlang pula. Namun, setelah keduanya pacaran, ternyata mereka dihadapkan pada tantangan yang baru: merobohkan dinding perasaan masing-masing dan berani membuka diri kepada satu sama lain. Dalam proses berbagi rasa itulah terungkap sisi-sisi kehidupan mereka yang panjang dan tertaut pada orang-orang di seputar hidup mereka.
“Semua keluarga bahagia itu sama saja; keluarga-keluarga yang tidak bahagia punya ketidakbahagiaannya masing-masing.” Demikian kalimat pembuka novel [b:Anna Karenina|15823480|Anna Karenina|Leo Tolstoy|https://i.gr-assets.com/images/S/compressed.photo.goodreads.com/books/1601352433l/15823480.SX50.jpg|2507928] karya Leo Tolstoy. Ungkapan yang sama bisa juga dipakai untuk Kare Kano ini. Karakter-karakternya punya situasi rumah tangga yang berbeda satu sama lain. Ada Yukino yang keluargaya baik-baik saja. Ada Arima dengan yang dibesarkan orang tua asuh dan tak jelas nasib orang tua kandungnya. Ada juga teman-teman mereka dengan situasi yang unik dan masalah yang berbeda-beda, baik dengan keluarga maupun antara sesama mereka sendiri.
Dalam Kare Kano, aku melihat konflik dan kerumitan dalam hubungan manusia ini sebagai cerminan persoalan yang aku temui dan alami sehari-hari. Tidak mudah menuntaskan perasaan yang mengganjal, yang sudah tertimbun bertahun-tahun lamanya. Bahkan, sisi-sisi buruk yang kita punya sekarang muncul sebagai turunan dari masalah orang tua kita, kakek-nenek kita, bahkan generasi sebelumnya lagi. Inilah yang namanya trauma antar generasi (intergenerational trauma). Masami Tsuda menjadikan trauma turun-temurun ini sebagai masalah yang ia ingin selesaikan dalam ceritanya di Kare Kano.
Lalu, apa jawaban Kare Kano soal hubungan antar manusia yang rumit, traumatik, dan seringkali berujung luka ini?
Menurutku, pertama, ia punya pesan bahwa trauma adalah hal yang manusiawi. Rasanya, jarang sekali ada orang yang tidak pernah mengalaminya. Adapun orang yang merasa tidak punya trauma, justru mungkin ialah yang paling pandai menyembunyikannya. Maka, hal yang terpenting buat kita sebagai makhluk yang tak sempurna adalah mengakui kelemahan itu, serta bersedia menunjukkan luka dan trauma kita kepada orang-orang yang kita percaya.
Kedua, luka yang kita alami bisa membuat kita takut dan akhirnya jadi melukai orang lain, bahkan orang yang paling kita kasihi. Ini sering disebut dengan istilah dilema landak (yang banyak diulas di anime Neon Genesis Evangelion). Kita pun harus mengakui luka yang kita torehkan pada orang di sekitar kita, baik secara sadar maupun tidak.
Ketiga, hidup dengan rasa sakit, luka, dan trauma tak menjadikan kita orang yang tak layak punya masa depan. Bukan pula artinya kita tak punya alasan untuk berharap pada kehidupan yang lebih cerah dan gembira. Satu-satunya cara untuk bangkit dari kekelaman itu adalah memaklumi diri kita sendiri, membenahi kekurangan-kekurangan kita secara sadar, sambil terus berusaha yang terbaik di saat ini dan di masa depan.
Itulah kesan-kesan yang aku tangkap setelah menamatkan 21 volume Kare Kano. Mayoritas cerita berkisar pada kehidupan Yukino, Souichiro, dan kawan-kawannya saat SMA. Namun, makin lama makin banyak kilas balik yang bisa sampai membahas 2-3 generasi yang hidupnya puluhan sebelum mereka. Manga ini diakhiri dengan kilas depan 16 tahun setelah mereka lulus sekolah. Sementara itu, Masami Tsuda merilis cerita ini dalam waktu 9 tahun, dari 1996 sampai 2005.
Dalam 9 tahun itu terlihat perubahan gaya dan cara gambar sang mangaka dari yang awalnya cukup kasar di volume-volume awal hingga lebih terpoles di bagian-bagian akhirnya. Desain karakter juga sepertinya bukan kekuatan Tsuda-sensei, karena sepanjang aku membaca seringkali aku tertukar atau kesulitan mengingat beberapa karakter yang potongan wajah, rambut, atau tubuhnya mirip-mirip.
Sejujurnya, saya baca buku ini karena “disuruh” Pak Ariel Heryanto dalam video ceramahnya yang cukup viral tentang peran serta orang Eropa dalam kemerdekaan Indonesia. Kalau biasanya di film atau karya fiksi lainnya orang Eropa, apalagi Belanda, selalu dijadikan tokoh jahat, di kumcer karangan Iksaka Banu ini justru hampir semua lakonnya bernama asing. Orang “pribumi”-nya sendiri hanya muncul sekali-sekali, kadang membantu Belanda dan kadang memusuhi.
Dari cerita pendek pertama, Selamat Tinggal Hindia, kita disuguhi keterangan bahwa yang berpikir soal Indonesia merdeka bukan cuma orang Indonesia saja. Ada orang-orang Belanda yang lahir dan besar di Hindia, dan sama sekali mereka tidak kenal tanah Belanda itu sendiri. Mungkin pembaca akan ingat ke karakter Annelies di Tetralogi Buru-nya Pram. Di cerita yang lain, Pollux, Iksaka Banu tidak hanya bertutur soal nasib Pangeran Diponegoro setelah kalah perang, tapi juga bagaimana seorang tahanan Belgia (yang waktu itu masih berjuang memisahkan diri dari Belanda) ditolong oleh beliau. Namun, dari semua cerita dalam buku ini, yang paling mengguncang saya adalah Semua Untuk Hindia. De Wit, sang tokoh “aku”, menjuluki Pemerintah Hindia Belanda saat itu sebagai fasis, oleh sebab ambisi Gubernur Jenderal van Heutsz untuk menguasai Kerajaan Badung, Bali. Karena ambisi itulah Kerajaan melawan, namun mereka melawan tidak dengan cara yang dikira oleh orang-orang Belanda dan mungkin kita sebagai pembaca yang sudah hampir 110 tahun terpisah dari peristiwa Puputan Badung yang terkenal itu.
Tentunya, tidak seru rasanya kalau semua cerita saya kupas satu per satu. Agaknya cukup dikata bahwa Iksaka Banu betul-betul menekuni penggarapan latar waktu dan tempat serta tema dalam cerita-ceritanya secara sungguh-sungguh. Kisah-kisah ini, yang semuanya bersudut pandang “aku” yang seorang Eropa kulit putih, tampak sangat meyakinkan meski tak sebentar pun pernah terlintas di kepala saya. Kita terbiasa mendengar cerita soal sejarah Indonesia dari buku sejarah sekolah saja, yang dipenuhi oleh cerita-cerita kepahlawanan yang sarat kemuliaan dan pengorbanan para pejuang serita kelicikan dan kebiadaban penjajah. Nyatanya, sejarah Indonesia tidak sehitam-putih itu. Penjajah maupun yang terjajah rupanya pernah dan bisa hidup bersama-sama, meski dalam ketidakadilan dan penindasan.
Sebetulnya saya kurang sreg dengan penyajian dialognya yang agak kaku dan berasa terjemahan, juga dengan beberapa cerpen yang buat saya tidak begitu terlihat konfliknya. Namun, penggambaran sejarah dan tokoh-tokoh yang gamblang berhasil memakan perhatian saya hingga beberapa waktu setelah membaca buku ini. Sudah saatnya orang Indonesia membaca sejarahnya sendiri dengan lebih terbuka.
A concise and accessible guide to understanding linguistics. While the book put an emphasis on English (such as in morpho-syntax and phonetics-phonology), it made examples of many languages. The presentation is sometimes inconsistent, though. I think it is mainly because the authors want to retain the clarity as the book progresses on each chapter. Also bonus for the occasionally funny comic strips and authorial jokes.
Cerita tentang Kota Kurouzu yang entah kenapa warganya sangat terobsesi dengan bentuk spiral. Banyak rasa yang aku alami waktu baca buku ini. Di antaranya: penasaran, aneh, takut, mual, dan jijik. Kejadian-kejadian yang melibatkan spiral sepanjang komik ini tidak selamanya dijelaskan secara jelas. Namun, justru itulah yang bikin aku penasaran buat baca sampai akhir. Aku betul-betul ingin tahu bakal seaneh apa lagi peristiwa spiral yang bakal terjadi di Kurouzu, dan memang makin ke belakang hal-hal yang terjadi makin tidak masuk akal.
Walaupun aku enggak biasa baca/nonton manga/komik/novel/film/cerita horor, Uzumaki ini seaneh dan semisterius itu sampai aku jadi berani melawan rasa takut yang biasanya aku rasakan kalau lihat hal-hal yang berbau horor. Hahaha. Tapi ini rasanya emang kekuatan dari cerita-ceritanya Junji Ito yang sangat di luar nalar. Waktu aku sebelumnya baca The Enigma of Amigara Fault, ada rasa ngeri dan risih yang sama, tapi akhirnya tetap kubaca sampai akhir semata-mata karena penasaran.
Banyak gambaran dan poin cerita (plot points) dari Junji Ito yang saking aneh, seram, dan menjijikkannya mungkin akan sulit aku lupakan (mungkin banyak pembaca juga mengalami hal yang sama). Pokoknya merinding banget deh bacanya, sampai harus sering ambil jeda dulu antar babnya.
Compared to the other Junji Ito book I read (Uzumaki), this feels like a hit-or-miss where several chapters don't pack quite a punch while the others are even better than Uzumaki (which kind of declines towards the end). I still consider the first Junji Ito work I read, The Enigma of the Amigara Fault, to be his best. Still need to read Gyo and Tomie, though.
Ulasan ini aku poskan ulang dengan beberapa revisi dan tambahan di blog: https://antariksakh.com/menjadi-2022/.
Beberapa poin yang aku pikirkan tentang buku ini:
1. Sangat jarang ada orang Indonesia yang bisa nulis dengan perspektif selebar ini. Orang-orang “intelektual” di sini seringkali sudah punya ranah spesialisasi masing-masing. Akibatnya, meski tulisan-tulisan mereka banyak yang bisa tajam menghujam jantung persoalan, namun tidak terlalu menarik buat orang yang bukan pemerhati subjek yang dibahas, sebutlah di bidang-bidang sains, ekonomi, sosiologi, atau kebudayaan. Bukunya Afu ini tampak sudah bebas dari sekat-sekat keilmuan yang kaku itu, dan dari situ dia bisa meramu sebuah “cerita” yang unik, mengupas masalah-masalah masyarakat dengan cermat, tapi juga dengan sisi manusiawi yang semua orang bisa nyambung.
2. Di halaman 127, Afu menyebut tentang “membangun kembali angkatan intelektual Indonesia” yang sempat hilang lantaran Orde Baru. Mirisnya, sampai 24 tahun paska robohnya Orde Baru dan tegaknya Reformasi ini, rasa-rasanya masih belum ada “angkatan intelektual Indonesia” itu, kaum public intellectuals dari orang-orang di generasi Y dan Z. Tapi, membaca Menjadi ini membuatku agak optimis kalau mungkin kelompok orang-orang intelektual itu akan muncul dengan buku semacam ini sebagai pemicunya.
3. Aku suka banget dengan banyaknya alat-alat berpikir atau mental models yang dikenalkan di Menjadi ini, seperti sistem I dan II dalam berpikir, tahap-tahap pendewasaan-nya Kegan, konsep need for cognitive closure, eksternalitas, ekonomi donat, sampai dikotomi reformis-revolusionis dalam manajemen perubahan. Rasa senangku ketika dikenalkan perkakas-perkakas konsep ini buat memperbaiki metode berpikirku mungkin sama dengan bapak-bapak habis belanja dari toko bangunan berupa toolbox yang isinya lengkap banget buat menunjang segala aktivitas pertukangan di rumah.
4. Walaupun buku ini penuh dengan pergumulan dalam proses “menjadi” yang filosofis/etis/spiritual nan tidak duniawi, tapi sebetulnya buku ini juga sekaligus bisa jadi panduan yang bagus buat menentukan arah karir bekerja, rencana studi, esai kontribusi dan personal statement buat aplikasi beasiswa, bahkan mungkin rencana terjun ke politik praktis bagi yang memang berminat ke arah sana. Hehehe. Alat-alat berpikir dalam buku ini memungkinkan untuk dipakai ke arah sana, terutama di bagian C. Jadi, ini buatku satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa berpikir kritis atau refleksi diri atau berfilsafat atau “menjadi” itu bukan hanya kegiatan waktu senggang untuk menunjukkan privilese saja (mungkin istilah yang tepat untuk ini “navel-gazing”). Ia punya nilai yang sangat praktis dan sangat bisa diterapkan sebagai siasat bertahan hidup dan, pada akhirnya, untuk memenangkan the game of life.
5. Pada akhirnya, sesuai anjuran Afu sendiri di akhir buku, aku menemukan titik-titik perseberangan pendapat. Titik perbedaan pendapatku yang terbesar adalah dari soal proses “menjadi” yang digambarkan linear sesuai dengan alur hidup. Buku ini ditulis dengan asumsi bahwa ada titik awal dan akhir yang jelas dalam proses “menjadi.” Ini bisa terlihat dari proses dialektika Hegelian yang dikutip Afu dengan tesis-antitesis-sintesisnya. Tapi, bisa juga kita katakan kalau proses pengembangan diri tidaklah seruntut itu. Afterall, life is messy, paradoxical, and full of randomness. Banyak hal yang tidak dapat terjelaskan dalam bentuk narasi (re: narrative fallacy, fooled by randomness), apalagi kalau urusannya dengan pengalaman pribadi (re: survivorship bias, Anna Karenina principle). Tentu saja, tidak bakal ada buku yang bisa menjelaskan semua hal di dunia ini alias the theory of everything. But, for me, the beauty of Menjadi is that for all its useful bits of knowledge and tools for critical thinking, it is ultimately NOT intended as a prescription of how to lead a good life, but rather as a call to action to start/restart our process of being/”menjadi”. Ini adalah hasil refleksi penulisnya atas proses “menjadi”-nya, yang bisa jadi sesuai ataupun tidak dengan situasi personal masing-masing pembaca. Akupun jadi merasa terpanggil untuk merespons apa yang sudah ditulis Afu dengan refleksi-refleksiku tentang prosesku sendiri dalam “menjadi.”
Quite surreal with lots of clever language-plays. Kind of exhausted following the story through, though. Much like Alice herself being dragged around and around by her (mis)adventures.
Who deserves to be called a leader? Why should it be him or her? And what do leaders do anyway?
People have been arguing about the ideal leader. It's normal. If we all agreed on the concept of leadership, then we would not have to hold elections or support one person over the other to represent us. This book illuminates my understanding of leadership and leaders.
In essence, each article in this compilation gives differing and sometimes competing definitions of leadership. Daniel Coleman sees that a leader has higher emotional intelligence than others, while Kotler maintains that the work of a leader is to steer people through change. According to Jim Collins, truly great leaders face their lives with humility and don't draw attention to themselves, but Goffee and Jones insists that a leader should put forward some characteristics that set them apart from other people. Peter F. Drucker, interestingly, throws away the notion of a “leader” and believes that everyone should be able to be an executive (i.e. completing tasks in an organization) regardless of their personality or interpersonal influence if they followed several rules.
After repeatedly reading each chapter, though, I have begun to understand that what makes a leader is very dependent on the situation. There is no perfect leader for all things to all peoople. Rather, there are leaders for particular organizations, particular peoples, and particular times and places. Perhaps we should be satisfied sticking to those various definitions of leadership because they seem to represent these differing contexts.
This book is not intended as a “how to be a leader” for leaders or anyone who seeks to gain a position of leadership. Rather, the readings should give them an insight on how they should dedicate their effort and exercise their influence over their organizations and people. In that case, I found this book really enlightening.
A satire of Victorian society with Oscar Wilde's strong appetite for wit. Too bad I was still working very hard to absorb the context.