Probably the most helpful of all self-help books I have read, even though this can be hardly called one such books. This compilation of several journal articles on Harvard Business Review stands to its title: it gives you suggestions on how yourself can be managed. It means you get to set yourself to the standard of CEOs or professional managers working in their companies, as the articles are originally intended to. That being said, most of the articles deal with how leaders should pay attention to their responsibilities and needs. However, the man on the street can learn very much from its articles, too. Some of the writings are especially accessible for an average person, such as Peter F. Drucker's Managing Oneself.
This book has done a good job explaining some of the most notable philosophers and their influential ideas. This is especially true in the entries of modern and contemporary period continental philosophers. Figures such as Heidegger and Derrida whose books are condemned as difficult to follow are explained here clearly without any shred of doubt left. The flowcharts, images and pictures are perhaps there to attract those who have no appetite with philosophy at all, but they are somewhat helpful and not at all redundant.
However, I would say that book's title is sort of a misnomer since this is not an introductory book but rather a mini-encyclopedia about philosophers. That being said, this book also fails to summarize the complete thoughts of prominent philosophers, as is expected from an introductory philosophy book. Instead, it delves into one particular idea of each philosopher so much that it ignores his/her contributions in other areas. For example, the entry about Thomas Hobbes entirely discusses his epistemological idea about physicalism, while obviously his political “homo homini lupus” ideas are more famous and influential.
In short, this book is helpful but only as a supplement for beginning enthusiasts of philosophy. Those completely new to the subject should find another introduction that is more suitable to their needs.
A concise and accessible guide to understanding linguistics. While the book put an emphasis on English (such as in morpho-syntax and phonetics-phonology), it made examples of many languages. The presentation is sometimes inconsistent, though. I think it is mainly because the authors want to retain the clarity as the book progresses on each chapter. Also bonus for the occasionally funny comic strips and authorial jokes.
The book offers some handy methods for responding to readings, the most notable of which are the Topoi, tagmemics, and the Toulmin method. Probably these kinds of methods could not be found in any other guides to reading and writing.
Unfortunately, it almost always get complicated and overly repetitive, the third part about narrative especially so. It could be squeezed down to one lengthy reading which could be read in one sitting.
Intended as a reading for business-people in companies, this collection of articles can also be useful for any other people in other organizations. Many articles get overly technical such as “Marketing Myopia” and “Balanced Scorecard”, but more are fairly translatable in general organizational discussion.
Sudah lama saya dibuat penasaran dengan fenomena Hallyu atau Demam Korea. Sebuah pertanyaan besar hinggap di kepala saya: bagaimana sebuah negara yang budayanya terjajah selama ratusan tahun tiba-tiba dapat menjadi eksportir budaya terbesar hanya dalam kurun dua dekade? Buku setebal 102 halaman ini menjawabnya secara ringkas namun juga menyeluruh. Publikasi lembaga pemerintah Korean Culture and Information Service ini menguraikan perjalanan industri kreatif Korea Selatan dari dekade 90-an hingga penghujung 2010.
Singkat cerita, ini buku pengantar dan referensi awal yang sempurna bagi yang ingin memahami budaya pop Korea Selatan.
Cerpen Matinya Seorang Penari yang menjadi judul antologi ini memang menarik. Dua versi, versi film dan asli, melengkapi satu sama lain. Versi film, karena memang mengadaptasi bentuk yang menekankan aksi, lebih banyak bercerita tentang diburunya Si Penari Telanjang oleh dua orang pembunuh bayaran yang eksentrik. Versi asli cerpennya lebih banyak menjelaskan motif-motif yang melatarbelakangi peristiwa pembunuhan itu. Pada akhirnya siapa biang keladi tidak juga terjawab, tapi Seno Gumira Ajidarma (SGA) meninggalkan pesan yang apik, bahwa perempuan agaknya selalu menjadi korban dan laki-laki tak pernah mau disalahkan.
Secara keseluruhan antologi ini berasal dari cerpen SGA yang dimuat di Kompas dan media massa lainnya. Cerpen SGA lazimnya mencemooh segala perikehidupan modern, dan ciri itu terlihat di buku ini. Semua cerita yang dimuat di sini tidak lepas dari kritik akan masyarakat. Ini bisa dilihat terutama di Manusia Kamar dan Ngesti Kurawa dengan tokoh utamanya yang nyata-nyata mencerca masyarakat dan, di cerita yang disebut belakangan, pergesaran pola hidup yang membuat semua orang makin sering. Kadangkala cerita SGA tak mudah ditangkap maksudnya, semisal Matinya Seorang Pemain Sepakbola atau Matinya Seorang Wartawan Ibukota, tapi di dalamnya SGA menyinggung soal ekspektasi besar pada orang yang sejatinya biasa-biasa saja. Di Tante W, Katakan, Aku Mendengarnya, dan Selamat Pagi Bagi Seorang Penganggur sinisisme SGA pada realitas perkotaan semakin kentara dengan nyata-nyata mengejek kekeluargaan yang kian pudar, rasa penasaran yang tidak diikuti dengan empati, dan ritme hidup Jakarta yang menyiksa penduduknya.
Buku ini mengupas paradigma cultural studies terhadap berbagai macam media yang membawa kebudayaan pop. Sebagaimana lazimnya buku cultural studies, karya John Storey ini cukup beristilah dan susah untuk diakses pembaca awam. Agaknya seseorang harus paham konsep-konsep dari strukturalis maupun poststrukturalis seperti Sassure atau Derrida untuk bisa menyelami sepenuhnya teks ini, walau sebetulnya tanpa latar belakang pengetahuan itu pembaca juga bisa menyerap sebagian isinya.
Apa yang ada di benak seorang demonstran? Itu pertanyaan yang saya ajukan sebelum membaca buku ini. Selama ini, dalam hemat saya, demonstrasi hanya tindakan sia-sia yang merusak dan tak jarang berbuntut perkara. Apa pikiran yang melandasi tindakan konfrontatif para mahasiswa? Cara terbaik untuk mengenal pemikiran seseorang adalah dengan membaca tulisannya. Oleh karena itu saya mencoba menemukan jawabannya di sini.
Agak kecewa sebenarnya saat saya menemukan bahwa buku ini bukanlah sepenuhnya “catatan seorang demonstran”. Buku ini lebih merupakan sebuah memoar perjalanan hidup Soe Hok Gie, dengan segala kerumitan pikirannya. Bagian yang benar-benar saya suka hanya bab Catatan Seorang Demonstran di mana Soe Hok Gie menuturkan jalannya demonstrasi-demonstrasi tahun 1966 dari sudut pandang mahasiswa.
Tapi sosok Soe Hok Gie sendiri bukannya sosok yang tidak menarik. Sedari kecil dia sudah menolak mentah-mentah pakem keagamaan dan mengikuti sastra dan pemikiran barat. Dia juga mengolok-olok guru bahasa Indonesianya yang dianggapnya tidak mengerti sastra. Di masa mahasiswa, dia adalah seorang idealis tangguh yang benci dengan agenda komunisme. Menjelang akhir hidupnya yang singkat, bisa dikatakan bahwa Soe Hok Gie seorang humanis tulen (bedakan humanis dengan humanitarian) yang menentang segala bentuk militansi.
Walau titik penting buku ini adalah gagasan politiknya, tapi buku ini lebih banyak memuat sisik-melik kehidupan Soe Hok Gie. Soal hidup, cinta, dan aktivitas pecinta alam yang digeluti juga ditulisnya. Semua ini dituliskan dengan pemikiran dan renungan yang dalam sehingga tidak terkesan remeh.
Banyak mahasiswa yang mengaku pernah membaca Catatan Seorang Demonstran tapi banhkan tindakannya amat jauh dari apa yang dicita-citakan Soe Hok Gie. Entah mereka menghayati apa yang dipikirkan Soe Hok Gie dengan sungguh-sungguh atau hanya sekadar mencari pembenaran untuk berdemo saja.
Muatan buku yang membahas seluk-beluk ilmu ini berkisar atas tiga macam pertanyaan. Yang pertama, Apa itu ilmu dan apa saja yang dikaji dalam ilmu? Yang kedua, Bagaimana cara menghasilkan ilmu? Yang ketiga, Apa manfaat dan nilai ilmu bagi manusia? Ketiga pertanyaan inilah yang berturut-turut dikenal sebagai ontologi, epistemologi, dan aksiologi ilmu.
Meski kata pengarangnya ini “sebuah pengantar populer”, sebenarnya bahasan buku ini tidak se-“populer” yang saya pikirkan, apalagi kalau ingat bahwa buku ini ditulis tahun 80-an. Walhasil, saya tak tahu siapa Obbie Messakh atau Rinto Harahap yang sering disebut atau lagu-lagu pop dan dangdut yang syairnya dikutip pengarang. Tapi itu soal lain dan tidak mengganggu pemahaman saya terhadap isi buku. :)
Yang jelas, bahasa yang digunakan pengarang sudah cukup komunikatif untuk dipahami seorang anak SMA yang kurang akrab dengan literatur ilmiah seperti saya. Tidak heran kalau buku ini biasanya jadi bacaan wajib di mata kuliah filsafat ilmu (yang notabene ada di semester pertama perkuliahan). Buku ini memang perlu dibaca oleh siapa saja yang akan berkecimpung di dunia keilmuan (dalam hal ini mahasiswa).
Ada satu hal yang membuat saya kurang sreg. Alih-alih mengajak pembaca mendalami filsafat ilmu, buku ini sebenarnya adalah semacam pengantar pada konsep ilmu pengetahuan yang berlaku di Indonesia. Jika kita membandingkan dengan uraian ilmu dan filsafat ilmu di Eropa dan Amerika, akan terlihat banyak perbedaan. Masalah-masalah dalam filsafat ilmu sendiri seperti problem of induction tidak dibahas. Mungkin buku ini lebih cocok dijuduli “Ilmu Pengetahuan di Indonesia: Sebuah Pengantar Populer”.
Neraka adalah orang lain.
Kalimat di atas lebih-kurang adalah rangkuman dari naskah drama ini. Sayangnya, mungkin banyak yang menyalahartikan pernyataan tersebut sebagai penolakan akan keberadaan orang lain. Alasannya jelas: mereka yang menyalahartikan kutipan itu tidak pernah membaca naskah dramanya!
Di bagian awal drama satu babak ini, kita melihat seorang bernama Garcin diantarkan oleh seorang pelayan ke sebuah ruangan. Garcin, yang mati sebagai pengkhianat dan peselingkuh, yakin bahwa tempat yang didatanginya adalah neraka. Tapi alih-alih menemukan ruangan yang penuh dengan alat penyiksaan, ia hanya melihat ruangan sederhana dengan tiga kursi. Untuk siapa dua kursi yang lain? Tak lama kemudian masuklah Inez dan Estelle yang juga mati sebagai pendosa.
Karena tidak diperkenankan keluar dari ruangan itu, ketiga karakter utama ini menghabiskan waktu dengan bercakap-cakap. Lama kelamaan, sadarlah mereka tentang tujuan dikumpulkannya mereka dalam ruangan itu.
Dalam Pintu Tertutup, Jean-Paul Sartre bercerita tentang siksa neraka. Tetapi, siksa neraka yang diyakini Sartre bukanlah batu pijar dan bara api seperti yang diyakini umat beragama. Bagi Sartre, yang akan menyiksa manusia-manusia jahat bukanlah neraka yang bisa dilihat saat hari pembalasan. Keberadaan orang-orang di sekitar para pendosa sudah cukup sebagai neraka.
Versi aslinya yang berjudul Huis clos atau terjemahan Inggrisnya yang berjudul No Exit (kadang ada yang menerjemahkan sebagai In Camera) telah banyak dipentaskan. Cari-cari saja videonya di Youtube. :D
Agak kurang sabar bacanya. Mungkin sepintas kelihatan membosankan gara-gara sedikit sekali sebenarnya yang diceritakan in terms of plot. Nyatanya Budi Darma sendiri di akhir buku juga bilang kalau ceritanya sebenarnya biasa saja. Yang menjadi “jualan” dalam novel ini sebenarnya adalah pemikiran tokoh-tokohnya, bukan jalan ceritanya sendiri. Tapi novel ini sendiri memang “menjual”, kok. Cocok buat yang ingin bacaan yang nggak biasa, mungkin?
Kommplain terbesarku pada buku ini bukan pada ceritanya yang cukup bias dan agak klise, tapi pada penerjemahannya yang amat-sangat payah. Sejak baris pertama, banyak dialog yang disajikan begitu saja tanpa narasi hingga aku tidak tahu tokoh mana yang sedang bicara atu peristiwa apa yang sedang terjadi. Kesalahan editing juga sangat mengganggu dan mempengaruhi pemahaman dalam membaca buku ini.
BTW, edisi yang kubaca adalah terjemahan terbitan Qisthi Press. Mungkin di edisi lainnya terjemahannya bisa jadi berbeda
Saya tidak tahu, tapi dalam terjemahan ini seolah-olah ada sesuatu yang hilang. Cerpen Teka Teki misalnya, tidak saya temukan maknanya. Apa itu sebuah alegori, atau ada hal lain yang ingin diungkapkan, sulit ditebak. Secara keseluruhan, saya tidak begitu gembira dengan apa-apa yang saya temukan di sini. Entah ini terjadi karena terjemahannya yang kurang sempurna, atau karena cerpen yang diterjemahkan memang seperti itu adanya.
Tapi sisi positifnya, usaha penerjemah untuk menerjemahkan cerpen-cerpen dari penulis dunia ini patut diapresiasi. Tidak banyak karya sastra asing yang diterjemahkan dan apalagi diterbitkan akhir-akhir ini.
Tidak semua cerpen di sini tidak saya suka. Ada Republick, karangan Naguib Mahfouz yang secara gamblang mengekspos keabsurdan konsep pemerintahan. Ada Menjelang Fajar, karangan Sartre yang menjadi satu di antara sekian banyak pernyataan tertulisnya tentang eksistensialisme.
Mungkin kali lain, penerjemah perlu lebih selektif dalam memilih karya-karyanya yang akan diterbitkan. Syukur-syukur kalau buku-buku selanjutnya bisa dibuat tematis.
Hal yang kusukai dari Tenggelamnya Kapal Van der Wijck adalah kisah cintanya yang dikemas dengan sangat santun. Sebagai seorang intelektual dan ulama, Hamka berhasil menuliskan roman cinta murni tanpa embel-embel yang hanya menggembar-gemborkan nafsu belaka. Cocoklah dibaca buat yang lagi galau.
Soal plot cerita juga menjadi salah satu hal yang kuapresiasi. Tebakanku di awal cerita dengan ending buku ini ternyata melenceng jauh. Meski sebenarnya masih bisa dibilang klise (terutama bagi yang sudah membaca lebih dulu Di Bawah Lindungan Ka'bah), tapi alur yang disajikan tetap menghibur.
Sayangnya, roman yang begitu santun dan orisinal seperti ini mungkin tidak akan banyak kita temukan sekarang.
The idea of seeing things through children's eyes is very much like what I've seen in Sophie's World, except that The Little Prince is actually aimed for children (CMIIW, though). It's the kind of book you want to read as early as possible in your life.
This book serves as a useful introduction to information science, with a heavy focus on information organization.
It is easy to read and gives a lot of everyday examples and cases to show why it is important to study information, although the book could be a lot shorter than it is.
Cerita tentang sekelompok orang yang terjebak pada suatu situasi dan harus bertahan hidup sebenarnya sudah tergolong pasaran. Namun bedanya, jika biasanya cerita seperti itu digolongkan sebagai cerita misteri, karya Mochtar Lubis ini tidak bisa dibilang novel misteri. Walaupun tetap mengandung unsur suspense, novel ini lebih cocok dikatakan sebagai cerita moral. Moralnya, ya, bahwa manusia harus mengalahkan “harimau” dalam dirinya sendiri sebelum harimau itu menikam orang lain di sekitarnya.
Yang membuatku tidak seberapa terkesan adalah plotnya yang bagiku mudah tertebak dan ending-nya yang cukup klise. Tapi kelebihan Mochtar Lubis dalam novel ini adalah penjabaran dan deskripsinya yang gamblang, sangat mudah bagi pembaca manapun untuk mengikuti buku ini. Di samping itu, pesan moral yang disampaikan juga tersampaikan tanpa harus terkesan sok-sokan atau pretensius atau apalah.
Tapi secara keseluruhan, buku ini bagus kok. Masih lebih bagus daripada novel-novel moral yang sok-sokan mengajari nilai hidup.
Not-so-engaging and perhaps confusing stories of Tommy and Tuppence. My main problem with this book is that I think Christie's detailed narrative does not suit a short story format, which makes the reader clueless and doesn't have enough time to enjoy the story. In addition, I couldn't understand most of the references the author was making. Perhaps this book is reserved for only loyal fans who read all of Christie's books.