Agak kurang sabar bacanya. Mungkin sepintas kelihatan membosankan gara-gara sedikit sekali sebenarnya yang diceritakan in terms of plot. Nyatanya Budi Darma sendiri di akhir buku juga bilang kalau ceritanya sebenarnya biasa saja. Yang menjadi “jualan” dalam novel ini sebenarnya adalah pemikiran tokoh-tokohnya, bukan jalan ceritanya sendiri. Tapi novel ini sendiri memang “menjual”, kok. Cocok buat yang ingin bacaan yang nggak biasa, mungkin?
Kommplain terbesarku pada buku ini bukan pada ceritanya yang cukup bias dan agak klise, tapi pada penerjemahannya yang amat-sangat payah. Sejak baris pertama, banyak dialog yang disajikan begitu saja tanpa narasi hingga aku tidak tahu tokoh mana yang sedang bicara atu peristiwa apa yang sedang terjadi. Kesalahan editing juga sangat mengganggu dan mempengaruhi pemahaman dalam membaca buku ini.
BTW, edisi yang kubaca adalah terjemahan terbitan Qisthi Press. Mungkin di edisi lainnya terjemahannya bisa jadi berbeda
Neraka adalah orang lain.
Kalimat di atas lebih-kurang adalah rangkuman dari naskah drama ini. Sayangnya, mungkin banyak yang menyalahartikan pernyataan tersebut sebagai penolakan akan keberadaan orang lain. Alasannya jelas: mereka yang menyalahartikan kutipan itu tidak pernah membaca naskah dramanya!
Di bagian awal drama satu babak ini, kita melihat seorang bernama Garcin diantarkan oleh seorang pelayan ke sebuah ruangan. Garcin, yang mati sebagai pengkhianat dan peselingkuh, yakin bahwa tempat yang didatanginya adalah neraka. Tapi alih-alih menemukan ruangan yang penuh dengan alat penyiksaan, ia hanya melihat ruangan sederhana dengan tiga kursi. Untuk siapa dua kursi yang lain? Tak lama kemudian masuklah Inez dan Estelle yang juga mati sebagai pendosa.
Karena tidak diperkenankan keluar dari ruangan itu, ketiga karakter utama ini menghabiskan waktu dengan bercakap-cakap. Lama kelamaan, sadarlah mereka tentang tujuan dikumpulkannya mereka dalam ruangan itu.
Dalam Pintu Tertutup, Jean-Paul Sartre bercerita tentang siksa neraka. Tetapi, siksa neraka yang diyakini Sartre bukanlah batu pijar dan bara api seperti yang diyakini umat beragama. Bagi Sartre, yang akan menyiksa manusia-manusia jahat bukanlah neraka yang bisa dilihat saat hari pembalasan. Keberadaan orang-orang di sekitar para pendosa sudah cukup sebagai neraka.
Versi aslinya yang berjudul Huis clos atau terjemahan Inggrisnya yang berjudul No Exit (kadang ada yang menerjemahkan sebagai In Camera) telah banyak dipentaskan. Cari-cari saja videonya di Youtube. :D
Muatan buku yang membahas seluk-beluk ilmu ini berkisar atas tiga macam pertanyaan. Yang pertama, Apa itu ilmu dan apa saja yang dikaji dalam ilmu? Yang kedua, Bagaimana cara menghasilkan ilmu? Yang ketiga, Apa manfaat dan nilai ilmu bagi manusia? Ketiga pertanyaan inilah yang berturut-turut dikenal sebagai ontologi, epistemologi, dan aksiologi ilmu.
Meski kata pengarangnya ini “sebuah pengantar populer”, sebenarnya bahasan buku ini tidak se-“populer” yang saya pikirkan, apalagi kalau ingat bahwa buku ini ditulis tahun 80-an. Walhasil, saya tak tahu siapa Obbie Messakh atau Rinto Harahap yang sering disebut atau lagu-lagu pop dan dangdut yang syairnya dikutip pengarang. Tapi itu soal lain dan tidak mengganggu pemahaman saya terhadap isi buku. :)
Yang jelas, bahasa yang digunakan pengarang sudah cukup komunikatif untuk dipahami seorang anak SMA yang kurang akrab dengan literatur ilmiah seperti saya. Tidak heran kalau buku ini biasanya jadi bacaan wajib di mata kuliah filsafat ilmu (yang notabene ada di semester pertama perkuliahan). Buku ini memang perlu dibaca oleh siapa saja yang akan berkecimpung di dunia keilmuan (dalam hal ini mahasiswa).
Ada satu hal yang membuat saya kurang sreg. Alih-alih mengajak pembaca mendalami filsafat ilmu, buku ini sebenarnya adalah semacam pengantar pada konsep ilmu pengetahuan yang berlaku di Indonesia. Jika kita membandingkan dengan uraian ilmu dan filsafat ilmu di Eropa dan Amerika, akan terlihat banyak perbedaan. Masalah-masalah dalam filsafat ilmu sendiri seperti problem of induction tidak dibahas. Mungkin buku ini lebih cocok dijuduli “Ilmu Pengetahuan di Indonesia: Sebuah Pengantar Populer”.
The idea of seeing things through children's eyes is very much like what I've seen in Sophie's World, except that The Little Prince is actually aimed for children (CMIIW, though). It's the kind of book you want to read as early as possible in your life.
Buku ini secara komprehensif membeberkan sejarah panjang terjadinya westernisasi (dalam buku ini disebut sebagai pembaratan) di Indonesia. Denys Lombard juga membahas dampak-dampaknya bagi Indonesia hari ini.
This served for me as a good introduction to Shakespeare's plays. I can now watch the plays with more understanding.
Beberapa buah pikiran Budi Darma tentang sastra. Ulasan dan tema yang dipilih tidak terlalu populer. Mungkin ini lebih cocok dijadikan konsumsi akademis semata.
Buku ini mengupas paradigma cultural studies terhadap berbagai macam media yang membawa kebudayaan pop. Sebagaimana lazimnya buku cultural studies, karya John Storey ini cukup beristilah dan susah untuk diakses pembaca awam. Agaknya seseorang harus paham konsep-konsep dari strukturalis maupun poststrukturalis seperti Sassure atau Derrida untuk bisa menyelami sepenuhnya teks ini, walau sebetulnya tanpa latar belakang pengetahuan itu pembaca juga bisa menyerap sebagian isinya.
Catatan Kato tentang sepuluh tokoh Islam Indonesia ini meskipun objektif tapi tidak lupa memberi kritik atas masing-masing aliran pemikiran yang mereka usung.
Hal yang kusukai dari Tenggelamnya Kapal Van der Wijck adalah kisah cintanya yang dikemas dengan sangat santun. Sebagai seorang intelektual dan ulama, Hamka berhasil menuliskan roman cinta murni tanpa embel-embel yang hanya menggembar-gemborkan nafsu belaka. Cocoklah dibaca buat yang lagi galau.
Soal plot cerita juga menjadi salah satu hal yang kuapresiasi. Tebakanku di awal cerita dengan ending buku ini ternyata melenceng jauh. Meski sebenarnya masih bisa dibilang klise (terutama bagi yang sudah membaca lebih dulu Di Bawah Lindungan Ka'bah), tapi alur yang disajikan tetap menghibur.
Sayangnya, roman yang begitu santun dan orisinal seperti ini mungkin tidak akan banyak kita temukan sekarang.
I'm not so interested in businesses and didn't read it all through. However, this book's advices on communication is mostly applicable in everyday life. Certainly won't waste your time.
Sudah lama saya dibuat penasaran dengan fenomena Hallyu atau Demam Korea. Sebuah pertanyaan besar hinggap di kepala saya: bagaimana sebuah negara yang budayanya terjajah selama ratusan tahun tiba-tiba dapat menjadi eksportir budaya terbesar hanya dalam kurun dua dekade? Buku setebal 102 halaman ini menjawabnya secara ringkas namun juga menyeluruh. Publikasi lembaga pemerintah Korean Culture and Information Service ini menguraikan perjalanan industri kreatif Korea Selatan dari dekade 90-an hingga penghujung 2010.
Singkat cerita, ini buku pengantar dan referensi awal yang sempurna bagi yang ingin memahami budaya pop Korea Selatan.
The book offers some handy methods for responding to readings, the most notable of which are the Topoi, tagmemics, and the Toulmin method. Probably these kinds of methods could not be found in any other guides to reading and writing.
Unfortunately, it almost always get complicated and overly repetitive, the third part about narrative especially so. It could be squeezed down to one lengthy reading which could be read in one sitting.
A haunting reminder that religions, though imaginary they might be, should not be taken lightly. Espinosa, a freethinker, takes his punishment for using the Gospel as a dinner story for the illiterate family he lives with. And it does happen in an ironic way.
A very accessible book for anyone who wants to dig deeper into the workings of English words and phrases. The excellent thing about this book is that it does not seek to simplify and present a dumbed-down version of morphology. Instead, the readers are persuaded to navigate through the complex world of morphology by following through the explanations. It's not the kind of book that you could just skim, but the one that should be read like a story book. As a consequence, it tends to get mightily repetitive.
Agak kesulitan di bab tentang Berdyaev dan Jaspers. Bahasa yang dipakai di bab-bab ini seringkali terlalu beristilah, misalnya “deifikasi” atau “transendensi” yang kurang dijelaskan dengan runtut. Tapi, selebihnya, banyak hal baru yang bisa kuambil dari buku pengantar ini. Existentialism is such a menacing concept.
Actually this is a highly tedious read: fairytale-like plot especially at the end, endless streams of Chinese references that I could not relate to (though this is normal since the late writer was a Sinology professor), and most importantly, vocabularic verbosity. The only rewarding things I found, and deeply like, from this story is that it has a well-developed unique protagonist and the world-building which adds a distinctive Chinese flavor to it.
Most of the part, the flow of this introduction can get very confusing. Perhaps that's why this book's chapters are not taught in order in my class. One of the things that gets in the way of understanding the explanations is that there is no glossary chapter. You can rarely just highlight the few important bits in each chapter since you need to read through the entire chapter to get a sense of what it tries to say. Nonetheless, going through those difficulties is worth it in the end. I could get a grasp of syntax in general (the title is a misnomer, I think, since there are lots of explanations taken from languages other than English).
I still have to reread this book, though.
Pengantar singkat tentang sejarah Jepang mulai Kerajaan Yamato hingga akhir Perang Dunia II. Isinya sendiri cenderung kaku, informasinya diulang-ulang tapi banyak istilah yang sebelumnya tidak dijelaskan. Terlebih, nada buku ini sangat Jepang-sentris karena pengarangnya sendiri orang Jepang. Tapi, pengantar kritis dari Mochtar Lubis bisa dijadikan pegangan agar tidak terlalu terbawa dalam narasi buku ini. Menurut saya, pengantar itu malah lebih penting daripada isi bukunya sendiri.
Helped me for analyzing his Design for my final paper in poetry class. The discussion offered is long-winded, though.
Catatan (agak) penting: saya belum pernah nonton AADC, bahkan filmnya yang pertama sekalipun.
Puisi cinta memang mudah memancing perasaan, sebab semua orang pasti mengalaminya. Karena itu pulalah ia cepat jadi membosankan. Walau ada satu dua rangkai kata yang cukup saya ingat (misal “Kau yang panas di kening. Kau yang dingin di kenang” yang sangat sering dikutip itu), tapi sisa-sisanya walaupun sentimental tapi cenderung membosankan. Entahlah, saya tidak begitu suka puisi-puisi cinta Aan Mansyur walau saya tak memungkiri kecakapannya dalam merangkai kata. Saya sempat membaca terjemahan beliau atas Puisi XX karya Pablo Neruda yang elok dan saya pakai sebagai acuan membuat terjemahan saya sendiri.
Mungkin gaya berpuisi seperti kumpulan ini memang sudah sangat formulaik, contohnya pada puisi Kahlil Gibran dan Pablo Neruda yang mengkiaskan cinta dengan peristiwa-peristiwa alam seperti siang dan malam atau panas dan dingin. Sama dengan bukunya Boy Candra yang dari judulnya (“Senja, Hujan, dan Cerita yang Telah Usai”) saja sudah tampak pasaran dan mencomot gaya berjudulnya Goenawan Mohammad (“Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai”). Oke, ini ngelantur.
Oh ya, saya kurang suka pula ketika buku kumpulan puisi dicampurkan dengan buku kumpulan foto. Kesannya seperti membatasi ruang imajinasi pembaca dengan menampilkan gambaran peristiwa yang ingin disampaikan sekalian. Barangkali ini karena keharusan dari filmnya, ya. Naasnya saya tidak paham karena belum (dan tidak berminat) menonton film yang memuat kumpulan ini.
Dari sampul depan sampai sampul belakang buku ini, saya tidak menemukan puisi yang betul-betul orisinal. Elok, iya. Mengena, iya. Tapi, saya tidak merasakan rasa-rasa sastra di kumpulan ini. Tidak masalah menikmati buku ini, sayang ia bakal dingin di kenangnya.
Ide dasarnya eksotis dan asli, sayang tidak dibarengi dengan world-building yang kuat.
Fiksi fantasi memang cukup sulit dibuat walalupun pengarang punya segala kekuasaan untuk membuat apapun yang dia mau. Tapi, perlu diingat bahwa para pembaca hidup di dunia yang nyata. Tidak ada masalah dengan membuat negeri yang mataharinya tidak kunjung bisa terbenam, tapi kurang bisa dipahami kalau orang bisa membuat partai politik di zaman musafir masih berkelana naik keledai. Tidak bisa Mungkin di sini Seno Gumira Ajidarma sedang terobsesi dengan beberapa latar atau karakter, semisal negeri di tengah padang pasir yang selalu diliputi senja atau pengawal kembar yang bisa membunuh sepasukan petarung dengan sekali serang. Sayangnya, mungkin beliau tidak merasa perlu memperluas obsesinya itu menjadi sebuah dunia yang utuh. Tampaknya seluruh novel ini adalah wadah bagi karakter-karakter sakti atau pemandangan-pemandangan eksotis sang pengarang yang tidak mungkin tertampung di dunia nyata.
Deskripsi dalam novel ini tampaknya memang kuat di latar Negeri Senja sendiri (meski tak selalu kohesif) dan pihak-pihak yang bertarung di dalamnya. Namun, tampaknya saya membutuhkan sesuatu yang lebih dari itu: suatu fantasi yang bisa membuat pembaca tidak sekadar jadi penonton di dalam dunia rekaan, namun juga membayangkan dirinya menjadi seorang manusia di dalam dunia itu. Buat saya, lebih menarik sebuah fantasi yang tidak hanya membuat saya membayangkan jadi raja dan pengembaranya, tapi juga kaum fakir dan hamba sahayanya. Tampaknya, agak sulit membayangkan menjadi seorang manusia yang utuh di Negeri Senja, seperti sulitnya membayangkan wajah Tirana, Sang Penguasa Buta.
Alur ceritanya juga masih membuat saya bingung. Ada misteri yang tidak terjawab bukan karena sang pengarang tidak membukanya, namun semata-mata karena ia tidak menceritakannya sebagai sebuah misteri, semisal kotak senja yang hanya jadi barang bawaan sang pengembara saja dan tak pernah dijelaskan mengapa ia begitu berharga. Jujur saya bingung ketika sang pengarang menyebut-nyebut Alina dan Maneka tanpa tahu siapa mereka sebenarnya. Lebih terperanjat lagi ketika saya masuk Bab IV, ketika sang pengarang bercerita tentang perempuan-perempuan di Negeri Senja yang pernah ditemuinya tanpa ada sangkut-pautnya dengan cerita Negeri Senja. Meski demikian, konflik antara Tirana yang bisa memberangus dan memenjarakan orang sampai roh-rohnya dan Partai Hitam serta Komplotan Pisau Belati yang tak pernah kelihatan tampak masuk akal dan menarik perhatian saya.
Novel ini mungkin tidak akan jadi populer, tapi saya bisa memahami mereka yang membacanya (dan menulis fantasi seperti ini) untuk menggambarkan dunia-dunia yang tak pernah ada di pikiran kita atau orang-orang yang takkan pernah mengembuskan napas di bumi.
I picked the book on the wrong time. This is supposed to be a very theoretical book on translation studies aimed for advocating for the paradigm of foreignization. I, barely understanding scholarly discussion about translation, was frequently lost inside Venuti's dense prose and near-eternal paragraphs.
Venuti argued that translators have too long underestimated their own role in shaping history by rendering themselves “invisible” in the translation process. He challenged mainstream idea (or so he said) that a good translation is a translation that does not read like a translation. This acceptance about translation leads to a fluent translation: a translation that is readable but conceals differences between the author's and the translator's culture. As a result, readers of the translated work think that they are directly interacting with the author while in fact they are accessing the original work through the ideological lenses of the translator. Venuti condemns this phenomenon as a kind of cultural opression where the author's deeply-held values are discarded and replaced with the target-language culture's presuppositions. A notable example is when a Roman text telling intimate interactions between two males was interpreted as homosexual activities in English translation during the Victorian era.
His “call for action” emphasizes the need for translators to preserve some kind of “strangeness” in their translators so that readers realize that they are reading something from a different mind. In some cases, calls like this makes sense since there are many translations that act as though as they are the author's words in another language rather than the near-original work of the translator, such as the famous Fitzgerald's “translation” of Omar Khayam's Rubaiyat. However, in other cases Venuti just seemed to be paranoid of threats of cultural opression and how translators seem to be neglected.
I might need to read this book sometime later after having some good grasp of the fundamental issues in translation studies in order to enjoy the full depth's of Venuti's argument.