Reading Mas Andreas' works is always a pleasure and this one is no exception, although saying that reading about violence is pleasurable does sound a little perverse. Let me explain: I started this book with the expectation that this book is going to be like Gourevitch's [b:We Wish to Inform You That Tomorrow We Will Be Killed with Our Families 11472 We Wish to Inform You That Tomorrow We Will Be Killed with Our Families Philip Gourevitch https://i.gr-assets.com/images/S/compressed.photo.goodreads.com/books/1442723264l/11472.SY75.jpg 888905] on the Rwanda genocide which I found super grim. Race, Islam, and Power is written more like a travelogue so it reads easy, unburdened with heavy citations that I'm sure shaped this book in the research stage. In this way I find it closer to Pisani's [b:Indonesia, Etc: Exploring the Improbable Nation 23316545 Indonesia, Etc Exploring the Improbable Nation Elizabeth Pisani https://i.gr-assets.com/images/S/compressed.photo.goodreads.com/books/1413749908l/23316545.SX50.jpg 25993810], but you know, grim.But you can't avoid grimness when writing about violence, and of course Mas Andreas had his pick of major violent events. He divided the chapters by islands and focused on a specific site for each: the chapter on Sumatra is on Aceh/GAM, Kalimantan is Sampit, Maluku is Ambon, Nusa Tenggara is Timor Leste, Papua is Merauke, and Sulawesi is Talaud. Some of his choices are intuitive: I like that he chose to write about both Sabang and Merauke. And opening the book with Sabang I think is very shrewd. Having visited Sabang and being in Aceh a couple of times made this opening vivid and it works very well to hook me in. I suspect this will be the case for many casual visitors, too. The chapter offers a thorough investigation of the roots of the conflict that left me with a clear idea of how it started and its impacts to the present day. This sets the standard for the following chapters: Andreas traced out how the violent events in Sampit and elsewhere escalated from a seemingly minor incidents. I admire his writing: he advanced the narrative fluidly in short sections as he stitched his observations and research with direct quotes from multiple interviews. However, there are also oddities with this book: the chapter on Java is more historical with a lot of discussion on pre-independence day with very little on post-Soeharto violence, despite what the cover may have you believe. I thought that the Sulawesi chapter will be on Poso, but we get an investigation from a border island instead. I also expected that this book would cover the violence against the Ahmadiyah, but it did not get the treatment I think it deserved. I was hoping to read his take on those in this book, but I still learn a lot from what Andreas did write in this book (a selection of some interesting passages: https://twitter.com/masyhurh/status/1133504088883306496). I'm going to end this review with a quote:“Too many Indonesians think of Indonesia as an inheritance, not as a challenge nor a common project. Where one has inheritance, one has inheritors, and too often there are bitter quarrels as to who has rights to the inheritance.”This (abridged) quote is by Ben Anderson, and I can think of no better remark to encapsulate this book than that.
Antologi horor yang meh. Ray Bradbury yang jadi pembuka bagus, dan Clive Barker yang jadi penutup juga bagus. Tapi banyak yang meleset.
Lalu entah kenapa bahkan review lain yang paling sober memuji The Pyre and Othersnya David Schow. Bacanya bikin bosan.
Tapi bisa juga ini karena ceritanya ditaruh setelah dua cerita paling buruk di antologi ini sih: cerita zombie ga jelas Dark Delicacies of the Dead (Rick Pickman) sama Depompa (William Nolan).
I think I'll just return to reading SF/F.
“Akulah lemang, engkaulah tapai. Cintaku basi tanpamu,” ikrarmu. Selalu.
Ada lebih dari satu cara memaknai masa lalu, tapi “Lelaki Ragi dan Perempuan Santan” ini berbahaya bagi mereka yang baru-baru saja nggerus–bayangkan saja si lelaki setia menolak rantang gulai kentang dengan kuah yang kental dan kentang yang kempuh sempurna sebagai tanda pinangan, semua demi menanti si wanita. Namun si wanita justru menerima pinangan pengusaha dari Jakarta.
Ada simetri di cerpen-cerpen Damhuri. Di “Reuni Dua Sejoli”, kedua sejoli sama-sama menghalau teman-teman lama, karena jengah ditanya kapan beroleh keturunan. Di “Dua Rahasia, Dua Kematian”, Angga dan Anggita sama-sama tidak beroleh restu orang tua–yang lalu menyesal ketika anak mereka menjadi korban gempa.
Tapi tidak semua cerpennya berlatar nestapa cinta. Tidak ada romansa di “Luka Kecil di Jari Kelingking”–yang nampaknya bersumber pada pengalaman penulis dihardik saudara dari kota karena lancang mendekat-dekat mobil sedannya, atau di kisah tukang cukur yang menjadi centeng los daging (“Badar Besi”). Ada beberapa cerita mistis, seperti “Tembiluk” tentang anjing berkepala manusia dan “Bayang-bayang Tujuh”, tentang upaya menghabisi raja judi yang punya kekuatan sakti. Ada juga cerita tentang Alimba di “Anak-anak Masa Lalu” yang kesurupan arwah anak-anak yang dipotong kepalanya untuk tumbal pembangunan jembatan–ini adalah salah satu favorit saya.
Skip the Indonesian version, it's horrible-horrible-horrible. Iya, saya tahu menerjemahkan tentang kebahagiaan tidak mudah, tapi membaca terjemahannya meningkatkan ketidakbahagiaan saya.
Seandainya saja yang saya pegang bukan buku pinjaman dari RR yang sudah dia tandai di sana-sini, saya mungkin akan menyerah dan lebih memilih mencari versi bahasa Inggrisnya. Membaca kalimat seperti “Semua orang di sini berbicara bahasa Inggris sebaik bahasa Islandia. ‘Dwi bahasa' bukanlah sebuah kata yang kotor.” (Dari hal. 248. Bentuk dwi- harusnya terikat, dan kalau tidak terikat maka dia jadi dua kata, bukan sebuah kata. Saya jadi ingin mengeluarkan kata kotor membacanya.).
Tapi dengan tanda stabilo RR–saya jadi bisa menebak-nebak alasan dia menandai bagian-bagian seperti di bawah:
“Orang Swiss bahagia karena mereka benar-benar berusaha untuk tidak menimbulkan iri pada orang lain.... Di Swiss, hal terburuk yang dapat terjadi pada Anda adalah menjadi pemenang mencolok nouveau riche (orang kaya baru).”
Kenapa ya RR menandai bagian menjadi nouveau riche? Apakah ini berarti saya bisa minta ditraktir? (Dari halaman 257: Orang Islandia menekan rasa iri dengan membagi barang-barang mereka.)
Eric Weiner sendiri menulis buku ini dengan menjelajah 10 negara: Belanda (tempat ganja dan prostitusi legal), Swiss (bahagia itu hidup dengan kemajuan dan kereta tepat waktu), Bhutan (bahagia itu ada di Shangri-La), Qatar (bahagia itu jadi kaya), Islandia (tempat yang aneh karena orang bisa bahagia dingin-dingin dalam kegelapan ), Moldova (karena bahagia itu tahu bahwa ada yang lebih parah dari kita, dan tidak ada yang lebih mengenaskan dari Moldova), Thailand (bahagia itu mai pen lai–sikap pasrah ya sudahlah mau bagaimana lagi), Britania Raya (rasa bahagia itu bisa dicoba dibangkitkan dengan reality TV), India (bahagia itu menjadi spiritual), dan Amerika (karena bahagia itu pulang ke rumah).
Saya sendiri baru pernah ke dua negara dari daftar di atas, dan kutipan yang dipilih Weiner tentang India membuat saya serasa kembali berada di Paharganj: “‘Saya suka suara klaksonnya, bajaj-nya, para perempuan yang menaruh pot di kepala mereka, kacang walah, lonceng-lonceng kuil.' Mau tidak mau saya memerhatikan bahwa sebagian besar yang ia katakan ada hubungannya dengan indra pendengaran. India adalah pesta perjamuan untuk telinga.” (hal. 448).
Tapi secara umum, saya paling bersepakat dengan halaman 485: “Money matters but less than we think and not in the way that we think. Family is important. So are friends. Envy is toxic. So is excessive thinking. Beaches are optional. Trust is not. Neither is gratitude.”
Ini sebabnya saya (kurang lebih) bahagia.
Favorit saya, 1-3: Jamu Sakti (Okto Baringbing & Mogri), T-Rex Gak Bisa Terbang (K. Jati) dan Rixa (Haryadhi). I think I'll buy the next installment just to read the next chapter of Jamu Sakti. T-Rex Gak Bisa Terbang ini kocak: cerita kemampuan lihat masa depan dengan membaca kentang goreng. Tapi cuma one shot. Rixa, dengan latar backstory di Planetarium TIM ini udah jelas lah winning points from me.
I had this book for quite some time before I actually crack the cover to read it. I followed Kristof's blog and I know that I'll learn new stuff from it. But the Indonesian subtitle was just too grisly, bombastic, and eventually, off-putting: “Kisah Kekerasan Paling Kejam Terhadap Perempuan di Abad Ini”–the century's most heinous crimes against women.
With that subtitle, one can't help but think that one must muster an adequate level inner strength to read about assault against women. One can't help but think that this is a book that will bring you nightmare if you dare to read it before you sleep.
So I brought this book when I sailed to Komodo Islands. I thought, this will keep me from being overtly giddy with the clear cloudless sky, the magnificent rolling hills of Nusa Tenggara, and the graceful swaying of corals beneath the surface of the sea.
And boy, this book can be grim. Women tricked into human trafficking and sex slavery, women enduring physical abuses from their husbands and mothers-in-law, women had their genital mutilated, women being gang-raped by war militia, women belittled, demeaned, debased, subjugated at the cost of their sights, agencies, sanity, and lives. I actually flinched at the picture of a woman who lost an eye because her husband stick an iron bar to her right eye, and decided that I had read enough misery for the day that I'd better go back to the sea and snorkel with bright gay fishes before I continue reading.
But, you know, don't let the first impression and the cover fools you. It's actually a very optimistic book. Fifty pages in, I started to think that the original subtitle fits better with this book: “Turning Oppression into Opportunity for Women Worldwide”.
This book is a wake up call to alert us that there are still many injustice committed against women. But at the same time, this book is a celebration of women's hardiness and their ability to better their world. Some women in this book were victims of the most horrible crimes, but they ended up being the agent of change for their community, their family, and themselves. They rise against a culture of unfair discrimination and entrenched norms of subordination to men to fight for a better livelihood, protection and education for their children, for a more equal standing, too. Their stories were uplifting, and you'll find yourself wondering if there's anything that you can do to help. It's a good thing that Kristof listed so many resources for an interested reader to start educating themselves further, and connect with other interested individuals to support a cause, donate, etc.
What bothers me about reading it in Indonesian is that the translation can be quite clunky and over literal. There are also typos littered around the book. Lowering the readability even further, the spacing between words are questionably too tight for several paragraphs. This book also needs updating, praises for Greg Mortenson's Three Cups of Tea should be taken with a pinch of salt. Kristof himself wrote a column about it after Jon Krakauer exposed fictionalisations of Mortenson's charity work in Afghanistan and Pakistan.
On the other hand, I liked the way Kristof weaved evidence in the narrative of the story. Some of it are from J-PAL and IPA's researches, too: distribution of school uniforms, “sugar daddy talk”, and many more. I think it helped to show that actions can have impacts.
Overall, this is a very accessible primer on the subject, and I think it will be worth your time reading it.
Pandangan saya tertumbuk pada A.M.S.A.T. ketika saya mengobrak-abrik tumpukan buku obral di Mal Ambasador. Nama pengarangnya yang familiar membuat saya menimang-nimangnya sebentar, lalu memasukkannya dalam keranjang belanja. Sudah lama sekali sejak saya baca bukunya yang pertama: J.P.V.F.K., dan saya teringat bahwa buku pertama itu menyenangkan sekali untuk dibaca: saya jadi berkenalan dengan merk-merk fashion terkenal, dinamika jurnalisme mode, dan benturan-benturan norma antara dunia fashion dan adat ketimuran yang dipegang Alif, salah satu tokoh utamanya.
Dari mana lagi saya yang hampir tipikal mahasiswa gembel ITB waktu itu bisa mengerti kata haute couture? Atau tahu bahwa huruf H merk Hermes tidak dilafalkan? Saya jadi tahu bahwa aksesoris-aksesoris dari merk-merk yang berseliweran itu harganya bisa mencapai puluhan dan ratusan juta.
Saya curiga dulu saya melihat diri saya seperti Alif, yang digambarkan tetap teguh sembahyang, menampik minuman keras meski di lingkungan yang bertolak belakang.
Dan ini membuat saya bingung ketika tahu-tahu Alif jadi “pejojing seronok”. Iya, dia gundah tidak lagi bisa memenangkan hati Saidah mantan istrinya. Bolehlah saya percaya dia kalut mengurus majalah yang dia dirikan bersama tiga teman terdekatnya (Raisa, Didi dan Nisa). Tapi mencari pengalih perhatian, dengan menerima tantangan untuk menari striptease dari tokoh yang bahkan tidak pernah disebutkan hingga di halaman 173? Terlalu dipaksakan, sepertinya. Anehnya lagi, untuk sesuatu yang akhirnya begitu menekan reputasi, konflik tentang hal ini seperti terlupakan selama berpuluh-puluh halaman, hingga ketika rahasianya terbuka, hidup Alif berubah semua.
Mungkin memang terlalu banyak konflik yang ingin dijalin Dean untuk Alif dan ketiga tokoh utama lainnya. Raisa harus membuktikan diri keluar dari citra anak manja, memenangkan cinta Alif, dan pergulatan dengan busana identitas agama. Nisa yang hamil di luar nikah harus bersitegang dengan orang tuanya. Didi tahu-tahu terseret kasus konspirasi politik orang tuanya. Dan banyaknya konflik ini tahu-tahu selesai di akhir ketika Nisa meninggal setelah melahirkan, Didi dipecat dari posisinya, dan Alif tewas ketika kantor majalah mereka diamuk massa yang memprotes gambar sampul edisi terakhir mereka yang seronok.
Terlepas dari plot, saya temui juga beberapa kesalahan tipografis, Raisa yang tiba-tiba berubah menjadi Nisa di dialog halaman 209, dan tanda-tanda hubung yang terselip di tengah-tengah baris kalimat. Yang paling mengganjal adalah penggunaan kata loose yang harusnya lose (“I have nothing to loose”, p.189), dan proove alih-alih prove (“Let's proove it”, p.154). Tolong jangan ingatkan saya dengan kata miscalled di halaman 140.
Ini bukan berarti penulisan Dean buruk. Jauh dari itu, malah. Pilihan kata-kata bahasa Indonesianya renyah, dan saya juga menemui kata bersirobok di sini.
Selain itu, ada beberapa bagian yang menyentuh. Salah satunya adalah ketika Alif dan Saidah bercengkerama di KBRI Perancis dengan waria korban perdagangan manusia yang melarikan diri dari Eropa Timur lalu mencari suaka. Bagian lain adalah ketika Raisa mengeluarkan sumpah serapah karena Audi yang ditumpanginya hampir ditabrak oleh motor–sejurus kemudian Alif bertemu dengan kurir yang mengendarai sepeda motor tersebut, gemetaran hampir menabrak mobil mahal sembari merutuki si kaya, tanpa tahu bahwa itu adalah mobil Raisa. Terakhir, sesuai dengan label genre metropop yang disandangnya, tanpa menggurui A.M.S.A.T. mengemas tentang masalah-masalah aktualisasi diri lewat profesi.
Jadi, apakah ini buku yang buruk? Tidak juga. Coba saja baca dulu, siapa tahu suka juga.
Entrok started with a daughter telling her mother of a much-awaited happy news. Despite the happy news, though, you get the sense that something really bad had happened and the daughter blamed herself for her mother's senility. The contradicting atmosphere of her regret piqued my interest enough to keep me continue reading.
And I can't put it down until I finished it two hours later.
The story itself is told alternatingly between the mother (Marni), and the daughter (Rahayu). With a story that encompasses four decades of their lives, it provides ample food for thought with its diverse topics. The topic ranges from marital infidelity and aspiration of moving socially upward, to clashes of theological beliefs and fighting injustice masquerading as march of progress as peddled by an authoritarian regime. Such amazing breadth, without coming across as condescending or preachy.
It was very easy to relate to. With no effort at all Marni made me think of my own mother. Not only because she poured all her efforts to her daughter in hope that her daughter would have had a better living, but also how she was hurt when her only daughter misunderstood her belief.
Aku membenci Ibu. Dia orang berdosa.
Aku membenci Ibu. Kata orang, dia memelihara tuyul.
Aku membenci Ibu, karena dia menyembah leluhur.
Aku malu, Ibu.
“Yang kuasa itu Gusti Allah, Bu. Bukan Mbah Ibu Bumi,” kataku dengan suara keras[.]
“Sampai setua ini, sampai punya anak sebesar kamu, Nduk, aku tidak pernah tahu Gusti Allah. Mbah Ibu Bumi yang selalu membantuku. Mbah Ibu Bumi yang memberiku semua ini. Apanya yang salah?”
Dia bilang aku ini dosa. Dia bilang aku ini sirik. Dia bilang aku penyembah leluhur. Lho.. lha wong aku sejak kecil diajari orangtuaku nyembah leluhur kok tidak boleh.[...] Dia bilang hanya Gusti Allah yang boleh disembah. Lha iya, tapi wong aku tahu Gusti Allah ya baru-baru ini saja. Lha gimana mau nyuwun kalau kenal saja belum.
(Review ini sebelumnya saya tulis di blog saya: https://yellowdoorknob.blogspot.com/2015/06/jalan-lain-ke-tulehu.html)
Sulit sekali ternyata merekomendasikan Jalan Lain ke Tulehu ke teman-teman saya. Begitu saya perlihatkan sampulnya, mereka langsung bertanya, “Ini yang ada filmnya itu ya? Pasti iya deh, ini ada ‘Cahaya Dari Timur' juga.”
Susah memang kalau berteman dengan orang-orang yang saking seringnya dapat tawaran nonton bersama pemutaran film Cahaya Dari Timur: Beta Maluku, bisa pasang #sikap kalau-ga-ada-Chicco-Jericho-gue-malas-dateng-kalau-Glenn-Freddly-gue-ga-nafsu. Buat mereka, kalau ini adaptasi sama dengan filmnya, buat apa baca novelisasinya?
Saya yang belum menonton filmnya tidak bisa menyangkal maupun mengiakan. Dan memang sekilas dari sampulnya, sepertinya mirip. Dua-duanya bertuliskan “Cahaya dari Timur”; di kedua poster dan sampul, ada orang bermain sepakbola. Makin tidak tampak baru untuk teman-teman saya.
Maka saya mencoba pendekatan lain untuk merekomendasikan buku ini, “Buat gue sih menarik aja, karya tulisan diceritakan dengan tutur logat Maluku. Terus karena ngga jauh beda sama logat Manado pasar yang dipakai di Banggai, jadi berasa macam kita balik lagi ke sana.”
Saya agak canggung mau merekomendasikan tentang kekuatan plot buku ini, karena, yah, kosakata apresiasi karya sastra bukanlah kosakata biasa saya sehari-hari. Sekalinya dulu ambil mata kuliah apresiasi sastra di ITB, di kelas malah baca Newsweek dan Time. Canggung bercakap sastra saya.
Sejujurnya, ketika saya mulai membacanya, saya langsung terhisap dalam cerita. Tentang Gentur yang harus diselamatkan dari vigilante nasrani yang hendak “membersihkan” muslim dari kapal yang saat itu dia tumpangi. Dan memang ini adalah fokus utama buku ini, tentang konflik antara yang bersalib dan bersalam di awal dekade yang lalu. Konflik ini membawa Gentur ke desa Tulehu, desa muslim yang terkenal sebagai kampung sepakbola.
Kalau ini adalah film sebangsa Air Bud, maka berikutnya pembaca akan disajikan cerita sepakbola membuat orang bisa mengesampingkan perbedaan di Tulehu. Tapi karena ini bukan sebangsa Air Bud, di novel ini justru kita akan menemui ketegangan ketika penduduk desa muslim tidak ingin ada warga kristen yang ikut menonton laga Belanda versus Italia di semifinal Piala Eropa. Penyebabnya pun tidak terasa dibuat-buat: tidak adanya listrik di desa membuat mereka rela mempertaruhkan keselamatan nyawa dengan datang ke desa yang berbeda agama. Adu urat tentu ada, dan saya mendapati diri saya bersimpati dengan si anak kristen yang berpura-pura harus ikut mendukung Belanda walaupun sebetulnya dia mendukung Italia. Bagaimana tidak? Begitu hampir ketahuan kalau ia mendukung Italia, situasi menjadi genting.
Bagi sebagian orang, sepakbola itu bagaikan agama. Bermain (dan menonton) bola bisa punya dampak katarsis yang sama dengan beribadah pada Yang Kuasa. Di sisi lain, terlihat pula di novel ini fanatisme terhadap keduanya ternyata tidak jauh berbeda.
Novel ini juga kaya akan lapisan-lapisan cerita. Tentang Said—mantan atlet kabupaten yang gagal bersinar karena cidera di masa muda—yang mencoba melatih anak-anak bermain sepakbola, tapi juga dirundung permasalahan rumah tangganya. Tentang Gentur yang dikejar masa lalunya—dan memori tentang almarhum kekasihnya yang menjadi korban perkosaan 1998. Tentang Tulehu yang menyimpan banyak memori persepakbolaan Indonesia. Bagi saya, tamatnya novel ini adalah titik awal berkecamuknya pikiran-pikiran yang harus diurai dari observasi yang ditawarkan novel ini.
Observasi pertama adalah tentang kekuatan kerusuhan 1998 sebagai latar cerita literatur sastra Indonesia. Memori atas 1998 adalah salah satu penggerak Gentur di novel ini, dan baru minggu yang lalu saya dapati demonstrasi mahasiswa 1998 menjadi salah satu bagian plot di novel “Pasung Jiwa”nya Okky Madasari. Yang lalu membuat saya bertanya-tanya, kenapa saya tidak banyak menemui literatur populer yang mengangkat peristiwa tahun 1965? Apakah ini karena pengaruh Orde Baru yang “membersihkan” citra dirinya?
Observasi kedua adalah tentang peran lingkungan kita dalam membentuk pilihan masa depan. Waktu kita kecil, saya rasa akan sangat sedikit dari orang tua kita yang tertawa saat kita bercita-cita menjadi dokter dan insinyur dan pilot. Bisa jadi mereka mendukung dengan bangga, dan memang dukungan itu adalah hal yang mudah ketika mereka familiar dengan profesi tersebut (atau bahkan itulah profesi mereka). Tapi bagaimana jika waktu itu kita mengaku bercita-cita menjadi atlet sepakbola atau seniman? Bisa jadi mereka menganggap itu gurauan sepintas lalu.
Di sisi lain, saya bayangkan di Tulehu orang-orang tuanya akan menyangsikan anak mereka bisa lulus sekolah dan kuliah untuk menjadi dokter dan insinyur. Mudah dibayangkan bagi mereka untuk tidak serius menanggapi cita-cita anak mereka, ketika mereka tahu bahwa bersepakbola adalah alternatif yang lebih mudah, lebih lazim dicapai. Lihat saja Aji Lestahulu (PSM), Mustafa Umarella (Pelita Jaya), Kasim Pellu (Bintang Timur Cirebon) yang juga berasal dari desa ini, sementara mana ada anak sini yang bisa jadi dokter?
(Trus yang udah jadi dokter dan pengacara dan insinyur songong deh, “Ini hasil kerja keras gue kok!”).
Yah, paling tidak sekarang saya jadi makin memahami kenapa Kelas Inspirasi itu penting.
Observasi ketiga adalah: tinggal di Jakarta ternyata membuat akses saya terhadap bacaan lokal makin terbuka. Kalau saya tidak tinggal di Jakarta, saya tidak naik transjakarta. Kalau tidak naik transjakarta, tidak bisa mengintai mbak-mbak di halte Halimun yang juga mengantre sambil membaca novel ini. Kalau dia tidak sedang membaca novel ini, saya jadi tidak bisa mengintip isinya. Kalau saya waktu itu tidak mengintip, saya tidak akan tertarik dan mencarinya di Gramedia. Ternyata ada berkahnya juga tinggal di Jakarta.
I don't think I would have been able to finish this book if it wasn't for the fact that I was confined in a bus that got stuck in a massive traffic jam for 27 hours going from Denpasar to Surabaya, had no other source of entertainment (phone battery tapped out), and had no other reading materials (it was the only book I brought with me).
Of course, you don't really need to know how I finished this book, but subjecting you to that information despite having no relevance whatsoever with the subject at hand is exactly like reading this book. Very often, the author would start a section/chapter by explaining his circumstances first–how he went to great length to get to the bottom of pearl production. Which only managed to give me the impression of him as a misunderstood artist, him living in a world where even his family doesn't get him.
I'm sure that this book could've been compelling (after all this is why I picked up this book: the premise was interesting and I know next to nothing about pearl or any other gemstones), but 100-pages in, I wonder if it's at all possible to write an engaging story about worldwide pearl production in more than five chapters. Afterall, the techniques were the same: you insert a bead, return the oyster to the water for several years, harvest them, and then sell them. The oysters might come from different species, which would account for the diversity of the colors and sizes, but that's about it.
I'd only recommend this book if you're familiar with the dealers and company heads in the pearl world (or if you are very interested to know about them), because in the end, this book is more about them.
I would have given this book 2 stars if it wasn't for a particular passage near the end. He recounted a story when he gave a talk on pearl, and a woman in the audience afterwards approached him to let him know that he gets pearls in a way that no one does, and how pearls gave her a spiritual connection. The author made a point of writing a paragraph “for the skeptics out there” that this woman was a perfectly rational woman that did not give off a new-age vibe. And then continued to tell her story that she did a long-distance healing over the phone to a client in Jerussalem from North America. Without irony.
As the author warned, “There are no smoking guns here.”
Truth to be told, if you paid enough attention to the local newspaper during 2003-2006 fat chance you'll find this book offers you a fresh insight, as nearly all the people here who are against the Fund has written much of the Fund failure elsewhere (notably, Argentina); not to mention their description and interpretation for the photograph featuring President Soeharto signing something with IMF Director behind him.
Nonetheless, I'm still expecting more description for the events related with IMF elsewhere, something new...
—-
I'ts official now, I give up reading this book. a perfect lullaby these days for me
it would be a magnificent one save that the death of the author then gave way to some of its incoherent nature, hence more like a book of several stories that do not have a single frame; on second thought, it is. yet the incompleteness is also a part that enrich The Silmarillion.
aside from that, The Silmarillion provides an introduction for those who are not content with the appendix in the back of LotR: RotK and describe more of what's happening before the Third Age of Middle-Earth, all i can say is all the waiting i had for the book was worthwhile.